Senin, 09 April 2012

TUGAS SOFTSKILL

NAMA             : SANTI SANTINI
NPM               : 26210362
KELAS          : 2EB20

sumber : http://kompas.com
KASUS SUAP YANG JANGGAL
Puluhan anggota dan mantan anggota DPR sudah menjadi tersangka bahkan sebagian sudah divonis. Namun siapa pemberi suap dan apa motivasinya masih gelap. KPK dianggap “tebang pilih” dan menjadi macan ompong dalam menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Swaray Goeltom.
Kasus suap yang janggal. Demikian kesimpulan kita bila memperhatikan jalannya penuntasan kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS - BI), Miranda Swaray Goeltom tahun 2004 lalu. Siapa pun tahu, disebut telah terjadi tindak pidana suap jika sudah ada dua pihak, yakni pemberi dan penerima. Sebaliknya, tidak mungkin ada penerima jika tidak ada yang memberi. Namun dalam kasus yang sering dinamai kasus suap traveler’s cheque (cek perjalanan) ini, pihak pemberi tak kunjung jelas.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memvonis bersalah empat mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) penerima suap cek perjalanan, yaitu Dudhie Makmun Murod (F-PDIP), Endin AJ Soefihara (F-PPP), Hamka Yandhu (F-Golkar), dan Udju Djuhaeri (F-TNI/Polri). KPK juga menetapkan 26 anggota dan mantan anggota DPR lainnya yang diduga ikut menerima cek perjalanan itu sebagai tersangka. Namun, Miranda S Goeltom dan Nunun Nurbaeti sebagai orang yang disebut-sebut paling tersangkut dalam kasus ini, statusnya masih mengambang.
Seperti diketahui, kasus ini pertama kali terungkap setelah mantan anggota DPR 1999-2004 dari Fraksi PDI-P, Agus Condro “bernyanyi” ke KPK, melaporkan bahwa ia telah menerima duit dalam bentuk traveller’s cheque senilai Rp 500 juta terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior tahun 2004.
Skandal suap ini semakin terkuak setelah digelarnya sidang perdana dengan terdakwa Dhudie Makmun Murod, Senin (8/3/2010). Dalam dakwaan dinyatakan bahwa anggota DPR dari PDI-P itu diperintahkan Sekretaris Fraksi PDI-P periode 1999-2004, Panda Nababan untuk mengambil dan membagikan traveler’s cheque senilai Rp 9,8 miliar. Dari persidangan itu, terungkap pula bahwa kasus ini bermula pada awal Mei 2004. Dimana saat itu Komisi IX DPR melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test dalam rangka pemilihan DGS-BI. Pemilihan DGS sendiri ketika itu diikuti oleh Budi Rochadi (Kepala perwakilan BI di Tokyo), Hartadi Sarwono (Deputi BI), dan Miranda S Goeltom (Deputi BI).
Kemudian, pada Juni 2004, Dhudie bersama dengan anggota Komisi IX melakukan rapat internal di ruang rapat fraksi PDI-P lantai 1 gedung Nusantara I DPR. Dalam rapat itu, hadir juga anggota DPR dari fraksi PDI-P lainnya, di antaranya, Tjahjo Kumolo selaku Ketua Fraksi dan Panda Nababan selaku Sekretaris Fraksi PDI-P. Dalam rapat ini, Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa untuk pemilihan DGS-BI aksi PDI-P akan mencalonkan dan mendukung Miranda Goeltom. Tjahjo Kumolo meminta anggota Fraksi PDI-P pada Komisi IX untuk mengamankan dan berkonsentrasi penuh dalam pemilihan tersebut.
Berkas dakwaan terdakwa Dudhie Makmun Murod itu juga memaparkan adanya pertemuan berikutnya yang dipimpin Tjahjo Kumolo, di ruang rapat fraksi lantai VI gedung DPR. Dalam pertemuan ini, Tjahjo kembali memberikan arahan dan mengatakan bahwa anggota fraksi PDI-P harus menjaga soliditas suara karena telah bersepakat untuk memilih Miranda sebagai DGS-BI. Saat itu, Panda Nababan ditunjuk sebagai Koordinator Pemenangan Miranda.
Selanjutnya, Dhudie juga menghadiri pertemuan pada hari Sabtu, 29 Mei 2004 di klub Bimasena ruang Dwarawati Hotel Dharmawangsa Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh Miranda Goeltom, Tjahjo Kumolo, Panda Nababan, Izedrik Emir Moes, Max Moein, dan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P lainnya. Pertemuan ini disebutkan, untuk mendengar visi dan misi Miranda.
Pada 8 Juni 2004, melalui mekanisme voting, Miranda pun akhirnya memenangkan pemilihan s untuk masa jabatan 2004-2009 tanpa penolakan yang berarti.
Sesaat setelah acara pemilihan, Dhudie kemudian dihubungi Panda Nababan melalui telepon untuk menemui seseorang bernama Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo di restoran Bebek Bali, komplek Taman Ria Senayan. Di sana, dia menerima titipan dari Nunun Nurbaeti berupa traveler’s cheque Bank Internasional Indonesia (BII) senilai Rp 9,8 miliar. Setelah menerima traveler’s cheque, Dudhie kemudian menerima saran dari Panda untuk membagikan cek perjalanan itu kepada anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P. Dudhie sendiri disebut mendapat bagian 10 lembar traveler’s cheque BII senilai Rp 500 juta.
Setelah Dhudie dan tiga temannya divonis, banyak proses hukum yang sudah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus ini, seperti pemeriksaan saksi dua calon DGS yang menjadi kompetitor Miranda, serta pemeriksaan  tersangka-tersangka dari fraksi lain. Awal tahun 2011 ini, KPK menahan 19 mantan anggota DPR periode 1999-2004 terkait kasus ini. Mereka ditahan sejak 28 Januari 2011. K ini para tersangka ditahan di empat rumah tahanan (rutan) yang berbeda, masing-masing di Rutan Salemba, Rutan Cipinang, Rutan Pondok Bambu, dan di Rutan Polda Metro Jaya. Dari 19 tersangka itu, sebagian besar sudah diproses dan tetap di dalam bui. Tapi anehnya, meski banyak anggota dewan yang sudah ditetapkan sebagai terhukum, terdakwa maupun tersangka, soal siapa pemberi suap dan apa motivasinya hingga saat ini belum terungkap sedikit pun.
Kondisi ini tak urung membuat banyak pihak merasa heran dan keberatan. Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso misalnya, mengaku heran dengan tindakan KPK yang lebih mendahulukan menahan politisi karena diduga menerima suap dibanding pemberi suap. Menurut Priyo, KPK seharusnya menangkap pemberi suap terlebih dahulu sebelum menangkap para politisi tersebut. Politisi senior Partai Golkar Fahmi Idris juga mendesak KPK agar menghukum mantan DGS BI, Miranda S Gultom. Jika tidak, Partai Golkar dan PDI Perjuangan menurutnya dikhawatirkan akan mengambil langkah politis.
Politisi Partai Golkar Paskah Suzetta,   yang juga tersangkut dengan kasus ini, berpendapat sama. Menurutnya, seharusnya ditetapkan dulu siapa pemberi, baru penerima suap. “Negeri ini dibangun oleh hukum. Maka, konstruksi hukumnya harus betul,” katanya di Gedung KPK, saat menjalani pemeriksaan, Jumat (28/1/2011). Paskah mengatakan, jika KPK ingin menjunjung tinggi keadilan, semua pihak yang terkait dugaan suap pemilihan DGS-BI harus didudukkan dalam posisi sama. Artinya, tidak boleh ada pembedaan. “Ini soal perlakuan yang tidak equal. Dalam kasus Miranda Gultom ini, judulnya kasus Miranda, tetapi kenapa dia enggak diapa-apain,” ujar Paskah.
Panda Nababan, politisi PDI-P yang sudah ditahan dalam kasus ini, juga mempertanyakan mengapa KPK tak kunjung memeriksa dan menetapkan status yang sama kepada penyuapnya. Agus Tjondro juga mengungkapkan hal yang sama. Agus mengatakan, lebih cepat kasus ini diproses akan lebih baik. Agar tahu siapa penyuapnya.
Enam politisi PDI-P yang menjadi tersangka dalam kasus ini, yakni; Poltak Sitorus, Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban Batu, Soetanto Pranoto, Muhammad Iqbal, dan Ni Luh Mariani Tirtasari juga sebelumnya pernah menggugat balik KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka minta KPK menghentikan kasus ini dan membayar ganti rugi Rp 25 miliar. Alasan mereka, pemberian cek itu tidak terkait pemilihan DGS BI tahun 2004 yang dimenangi Miranda S Goeltom. Tapi sebagai sumbangan sah dari dua perusahaan milik Nunun Nurbaety kepada PDI-P untuk kampanye pemenangan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dalam Pilpres/Wapres  2004. Kuasa hukum mereka, Petrus Selestinus juga mengatakan, hingga kini KPK terbukti belum mampu mengusut pemberi cek perjalanan. Padahal, ini harus diungkap.
Sebenarnya, Miranda S Goeltom setidaknya sudah dua kali diperiksa KPK , yakni pada Rabu 28/10/2009 dan Selasa 2/11/2010. Namanya juga sudah dimasukkan Ditjen Imigrasi dalam daftar orang yang dicekal. Namun, belum juga ditetapkan sebagai tersangka.
Nunun Nurbaeti yang dianggap merupakan saksi kunci dalam kasus dugaan suap Rp 24 miliar ini  bahkan belum bisa dihadirkan walau hanya sekadar memberi kesaksian. Sudah berkali-kali istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun ini dipanggil KPK tapi tidak pernah berhasil karena wanita ini disebut sedang mengalami sakit lupa. Kini, malah beredar kabar bahwa Nunun sebenarnya sudah tidak berada di Indonesia. KPK hanya mengaku masih terus berupaya.
Selama ini, sidang Pengadilan Tipikor baru bisa mengungkap keberadaan Arie Malangjudo sebagai pihak perantara antara Nunun dengan anggota Fraksi Partai Golkar, PPP, PDI-P, dan TNI/Polri.  Akan tetapi keberadaan sponsor besar di balik pemberian cek perjalanan tersebut hingga kini masih gelap.
Arie Malangjudo adalah mantan Dirut  PT Wahana Esa Sejati, perusahaan milik Nunun. Dalam beberapa kali sidang, Arie menyebutkan bahwa dia hanya  perantara yang mendapat tugas dari Nunun untuk mengantarkan cek perjalanan kepada beberapa tersangka.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Budget Center Arif Nur Alam mengatakan, KPK harus bisa mengungkap siapa yang memiliki dana dalam kasus cek perjalanan tersebut. Untuk itu, KPK seharusnya menyelidiki perusahaan-perusahaan yang selama ini diduga terlibat. “Agar tidak diskriminatif karena yang selama ini dijerat dalam kasus itu adalah si penerima. KPK harus membuka siapa yang memiliki uang untuk aliran cek perjalanan itu,” katanya. Arif menuturkan, selain perusahaan yang diduga memberikan dana, pihak ketiga sebagai distributor cek perjalanan itu juga harus diungkap KPK.
Dalam persidangan terungkap, nama-nama perusahaan yang disebut adalah PT First Mujur Plantation (Artha Graha Group), PT Bank Artha Graha Tbk (Artha Graha Group), PT Wahana Esa Sejati dan PT Wahana Esa Sembada (keduanya milik  Nunun Nurbaeti Daradjatun).
Setelah sekian lama penyelidikan kasus ini, publik mulai pesimis kalau pelaku penyuapan bisa terbongkar. Rasa pesimis itu salah satunya disampaikan anggota Komis III DPR Bambang Susatyo. “Saya berani menyimpulkan ada tangan-tangan kuat yang tidak terlihat bermain di tubuh institusi-institusi penegak hukum kita,” katanya (26/3/2011).
Bambang menduga, beberapa nama yang disebut-sebut terlibat sebagai penyuap,  kemungkinan besar akan lolos. Alasannya, karena anggota dewan yang sudah divonis terdahulu  dijerat dengan dakwaan gratifikasi sedangkan dalam kasus gratifikasi, pemberi hadiah tidak dapat dihukum. MS (Berita Indonesia 83)

# PENYELESAIAN #
sudah saatnya kita menyatakan stop korupsi dan suap di Indonesia. Ya, mungkin bisa dimulai dari diri kita sendiri, di lingkungan keluarga atau di lingkungan kerja kita sehari-hari. Tentu saja bagi kita yang berjiwa sehat tidak ingin korupsi dan suap menjadi budaya kebanggaan bangsa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar